PPh Pasal 23 atas Imbalan Jasa

Selain buderos (bunga, dividen, royalti, dan sewa), yang telah dibahas di artikel sebelumnya, objek pemotongan PPh Pasal 23 juga meliputi beberapa jenis imbalan atas jasa. Dalam artikel ini, kita akan membahas mengenai jenis-jenis jasa yang imbalannya menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23, tarif PPh Pasal 23 dan DPP atau dasar pengenaan pajaknya.

 Definisi Jasa
Seperti dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh, ditetapkan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23. Melalui SE-35/PJ/2010 tanggal 9 Maret 2010, Dirjen Pajak memberikan penjelasan mengenai pengertian dan batasan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan tersebut.
Jasa Teknik, adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu pengetahuan, yang meliputi:
  1. Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
  2. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
  3. Pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa Manajemen, adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Sedangkan Jasa Konsultan adalah merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Untuk Jasa Konstruksi, dalam hal ini masih menjadi perdebatan mengenai jenis pemotongan PPh-nya apakah dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Bahasan mengenai jasa konstruksi dapat Anda baca di sini.
Khusus untuk kelompok Jasa Lain, dalam hal ini Pasal 23 UU PPh memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan jasa-jasa lainnya yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Terkait kewenangan ini, Menteri Keuangan pun menerbitkan PMK Nomor 244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008. Daftar Jasa Lain yang imbalannya ditetapkan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 dapat Anda lihat di sini.
Objek PPh Pasal 23
Imbalan jasa-jasa tersebut di atas merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 apabila dibayarkan atau terutang kepada Subjek Pajak badan dalam negeri, termasuk BUT (bentuk usaha tetap).
Apabila imbalan atas jasa-jasa di atas dibayarkan atau terutang kepada Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri, dalam hal ini imbalan tersebut menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21.  Dan apabila imbalan atas jasa tersebut dibayarkan atau terutang kepada Subjek Pajak luar negeri, maka imbalan itu menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26.
Pengecualian
Jika imbalan atas jasa-jasa tersebut dibayarkan kepada bank yang berstatus sebagai Subjek Pajak dalam negeri, maka terhadap imbalan jasa tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23. Pengecualian ini berlaku untuk seluruh imbalan jasa yang disebutkan di atas [lihat Pasal 23 ayat (4) huruf a UU PPh].
Selain kepada bank, imbalan jasa yang dibayarkan kepada badan usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman maupun pembiayaan, juga dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23. Hanya saja khusus untuk badan-badan usaha ini yang dikecualikan hanya imbalan berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah [lihat Pasal 23 ayat (4) huruf h UU PPh dan PMK Nomor 251/PMK.03/2008].
Tarif dan DPP
PPh Pasal 23 dihitung dengan rumus = tarif PPh Pasal 23 (x) Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Tarif PPh Pasal 23 khusus untuk imbalan jasa-jasa tersebut ditetapkan sebesar 2%.  Tetapi jika penerima imbalan (pemberi jasa) belum ber-NPWP, maka tarifnya menjadi 4% [lihat Pasal 23 ayat (1a) UU PPh].
DPP PPh Pasal 23 adalah jumlah bruto imbalan yang dibayarkan atau terutang. Terkait dengan soal DPP ini, Dirjen Pajak dalam SE-53/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan JUMLAH BRUTO adalah seluruh jumlah imbalan yang dibayarkan/terutang, tetapi tidak termasuk:
  1. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh penyedia jasa tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
  2. Pembayaran atas pengadaan/pembelian material atau barang;
  3. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
  4. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement).
Namun agar keempat unsur tadi tidak menjadi DPP PPh Pasal 23, pihak yang menyampaikan tagihan harus bisa memberikan bukti-bukti dan dokumen terkait kepada pihak yang ditagih.
Contoh a: Misalnya sebuah perusahaan outsourcing menyampaikan tagihan kepada kita sehubungan dengan penempatan 10 orang petugassecurity di perusahaan kita. Misalnya tagihan sebesar Rp 12 juta dengan perincian biaya gaji 2 tenaga security Rp 10 juta dan fee kepada perusahaan outsourcing-nya Rp 2 juta. Dalam case ini kita diperbolehkan memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dikalikan Rp 2 juta (hanya atas fee-nya saja) tetapi dengan syarat perusahaan outsourcingtersebut menyerahkan atau melampirkan di invoice-nya kontrak kerjasecurity dan daftar pembayaran gaji kepada security tersebut.  Jika dokumen ini tidak dilampirkan di invoice, maka kita harus memotong PPh Pasal 23 dari total (Rp 12 juta).
Contoh b: CV ABC mengerjakan pengecatan gedung milik PT XYZ. Dalam tagihannya disebutkan bahwa biaya (fee) pengecatan sebesar Rp 10 juta dan biaya penggunaan 1000 kaleng cat Rp 20 juta. Jadi total tagihan sebesar Rp 30 juta. Dalam case ini, seperti juga di Contoh a, PT XYZ harus memotong PPh Pasal 23 dari total tagihan (Rp 30 juta) jika CV ABC tidak melampirkan faktur pembelian atau dokumen lain terkait pembelian cat yang digunakan.
Contoh c: ABC Advertising menyampaikan tagihan kepada PT XYZ terkait dengan jasa pembuatan dan pemasangan iklan produk PT XYZ di suatu media masa. Dalam tagihannya disebutkan fee untuk ABC Advertising Rp 5 juta dan tagihan pembuatan video iklan yang dilakukan oleh Rumah Produksi GHI Production sebesar Rp 50 juta. Dalam hal ini, jika ABC Advertising bisa menyerahkan faktur atau tagihan dari GHI Production, saat menagih kepada PT XYZ, maka PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT XYZ adalah 2% dari Rp 5 juta. Tetapi jika faktur atau tagihan dari GHI Production tidak diserahkan kepada PT XYZ, PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah 2% dari Rp 55 juta.
Contoh d: Apabila ABC Advertising, dalam Contoh c di atas, membayar terlebih dahulu tagihan dari GHI Production dan kemudian meminta penggantian (reimbursement) kepada PT XYZ, maka penggatian ini tidak dipotong PPh Pasal 23 apabila faktur, tagihan (dari GHI) dan bukti pembayarannya diserahkan oleh ABC Advertising kepada PT XYZ.
Jika melihat pada ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan SE-53/PJ/2009, rasanya akan sangat mustahil untuk dipenuhi. Jadi mau tidak mau, DPP PPh Pasal 23 untuk imbalan jasa tersebut dihitung dari total imbalan jasa yang dibayarkan.
Note: Persyaratan sebagaimana diilustrasikan di keempat contoh di atas, tidak berlaku untuk catering.  Artinya, untuk imbalan jasa cateringDPP-nya adalah dari total tagihan tanpa melihat apakah ada pemisahan imbalan jasa maupun pembelian material atau bahan-bahan catering.
Sumber: Tax

Comments

Popular posts from this blog

Filosofi Garuda Wisnu Kencana (GWK)

Sewa Jas Bali Terlengkap dan Murah

7 Bagian Tubuh Yang Dapat Redakan Penyakit