Lunturnya Kearifan Lokal Pulau Dewata

Pengusaha kondominium tidak henti-hentinya menyasar Bali, karena Bali satu-satunya pulau yang serba unik. Serba uniknya Pulau Bali sehingga banyak pengusaha, investor yang datang ke Bali, ibarat gula dicari beribu-ribu semut. Pulau Bali yang unik, tidak mau ketinggalan masyarakatnya pun unik. Keramahtamahan, sopan santun masa lalu yang tiada duanya dan telah tersohor di mancanegara. Namun di balik itu keunikan yang tidak patut ditiru adalah menilai sesuatu yang datangnya dari luar lebih bagus dari apa yang memang ada di Bali. Hal ini disebabkan makin menurunnya kebanggaan terhadap nilai-nilai yang dimiliki/ada di Bali. Menurunnya kebanggaan, menurunkan pula harga diri karena menilai sesuatu yang bersifat duniawi sangat tinggi, melebihi dari harga dirinya sendiri. Kalau ada orang yang kaya secara materi sangat dihargai, apa lagi pengusaha yang datang, masyarakat lupa diri.

Karena silau (semata-mata) uang, segala-galanya uang sehingga tanah, sawah dijual demi uang. Banyaknya tanah yang dijual apakah akibat ketundukan atau harga diri pemegang kewenangan dengan mudahnya memberikan izin? pertanyaan inilah yang kita harus jawab bersama.

Begitu banyaknya masyarakat Bali menjual tanah, berujung pada banyak lahan pertanian berubah menjadi hamparan beton. Di samping harga diri yang menurun, toleransi yang berlebihan juga dimanfaatkan oleh oknum pengusaha untuk semata-mata mencari keuntungan tanpa memperhatikan alam Bali.

Alam Bali dengan kearifan lokalnya yang sudah teruji berabad-abad, ramah lingkungan, memperhatikan konsep Tri Hita Karana, Tri Mandala, Asta Bumi, Asta Kosala Kosali, bangunan tahan gempa dan tingginya tidak boleh lebih dari 15 (lima belas meter) yang ekuivalen dengan tingginya pohon kelapa. Kalau hal-hal yang seperti ini tidak diperhatikan oleh orang Bali sendiri maka Bali akan menangis. Menangisnya Bali akibat dari kehilangan jati dirinya, apalagi kehilangan harga diri. Semua itu ulah manusia yang menjadikan Bali serba berubah; berubahnya sosio religius, berubahnya jati diri Bali.

Bali akan lebih keras menangis jika harga diri orang Bali jatuh dan diukur dengan hal-hal yang bersifat duniawi (bersifat sementara). Lebih parah lagi dengan sesama orang Bali banyak yang bermusuhan. Sedangkan kalau dengan masyarakat luar Bali entah itu investor, entah itu pengusaha kondominium, entah itu masyarakat luar, orang Bali sangat toleransi. Sikap toleransi itu sangat penting terhadap siapa saja, tetapi kalau sikap toleransi berlebihan dengan mengesampingkan orang Bali itu sendiri ternyata berdampak kurang baik terhadap Bali.

Dampak yang kurang baik bagi Bali menyebabkan Bali lain dulu, lain sekarang. Dulu orang Bali sangat menghormati kearifan lokal; menghormati alam, akrab dengan konsep manyamabraya (persaudaraan) atau vasudewa kutumbakam (semua penghuni dunia ini adalah saudara), kalau sekarang, saya hidup anda mati, saling bunuh. Membunuh dengan sadis, membunuh dengan perekonomian, membunuh dengan jabatan, membunuh dengan politik, membunuh dengan menjatuhkan harga diri, bunuh sana-bunuh sini.

Di zaman Kreta manusia 100% menghormati kebenaran atau dharma, zaman Treta manusia menghormati kebenaran 75%, zaman Dwapara manusia menghormati kebenaran 50%, zaman Kali (kalut) manusia menghormati kebenaran 25%. Jangan biarkan zaman yang mengatur kita, kitalah yang mengatur zaman.

Jangan biarkan investor yang mengatur kita, jangan biarkan uang yang memperbudak kita, tetapi kitalah yang mengatur uang, karena urusan duniawi sifatnya sementara.

Comments

Popular posts from this blog

Filosofi Garuda Wisnu Kencana (GWK)

Sewa Jas Bali Terlengkap dan Murah

7 Bagian Tubuh Yang Dapat Redakan Penyakit